Selasa, 28 Desember 2010

Three Cups of Tea

(Penulis: Haris Nasution, yang diterbitkan di majalah Noor edisi Mei 2009)


Greg Martenson, seorang warga Negara Amerika yang pernah menetap di Pakistan menulis dalam bukunya berjudul Three Cups of Tea, bahwa jika sekali Anda telah diundang minum teh oleh seseorang, maka orang itu telah menghormati Anda sebagai tamu. Jika Anda diundang untuk kali kedua, maka status Anda telah meningkat menjadi teman. Dan pada ketiga kalinya, Anda sudah menjadi bagian dari keluarga mereka. Sungguh sangat mengesankan. Buku itu sendiri mencetak best seller dan memberi inspirasi kepada jutaan pembacanya di seluruh dunia. Bagaimana dengan kita di negeri ini?

Tak ada sedikitpun kesan istimewa dari sebuah undangan minum teh di rumah sesorang. Selalu saja menyelipkan suatu praduga tersendiri, yang kebanyakan praduga itu adalah negatif. “Ada keperluan apa dia mengundang saya datang ke rumahnya?” “Mau pinjam uang atau minta tolong dicarikan pekerjaankah?” Dan kalau yang diundang merasa tak memiliki kepentingan apapun dengan si pengundang, tentu saja dia akan mengabaikan undangan tersebut. Apalagi di tengah suasana yang sibuk…buk… yang apa-apa selalu membutuhkan perhitungan sendiri. Apa untung dan ruginya?

Sudah semakin jarang orang bersilaturahim dengan saling berkunjung. Lebih praktis janjian untuk bertemu di cafĂ© ataupun di pusat perbelanjaan. Rumah bukan lagi menjadi tempat untuk menjalin ikatan silaturahim. Ketika ada seorang sahabat yang sudah lama tak bertemu datang ke kota tempat kita tinggal, hal yang pertama kali terucap, “Ketemuan yuk…, tapi enaknya dimana ya…?” Jarang terdengar ajakan, “Ke rumahku yuk… Kita ngopi atau ngeteh bersama. sekalian kukenalkan dengan keluargaku.”

Privasi! Selalu itu yang menjadi apology. “Jangan di rumah deh, nanti kita nggak leluasa ngobrolnya.” atau “Wah, rumahku berantakan nih. Ketemuan di luar aja deh sekalian makan siang bareng…” Atau ajakan lain yang familiar, “Ketemuan di mal anu aja yuk. Lagi ada sale lo…”

Saya masih ingat bagaimana seringnya orang tua saya mengundang teman-temannya untuk makan siang di rumah. Kami, anak-anaknyalah yang paling senang, karena tentu makan siang pada hari itu akan lebih istimewa. Tapi ketika ayah mendapat masalah di tempatnya bekerja, tak satupun dari teman-teman yang sering diundangnya itu datang bersimpati. Padahal, sudah bercangkir-cangkir teh mereka minum di rumah kami. Begitupun, acara makan siang bersama dengan teman-temannya, tetap tak berhenti! Bagi ayah, menjamu tamu merupakan salah satu kebiasaan Rasulullah yang patut diteladani.

Kalau rumah kita sering dikunjungi orang, tentu kita tak akan memberi kesempatan rumah kita kotor dan berantakan. Kita akan bersemangat untuk membersihkan rumah dan aura rumah pun menjadi baik. Itu adalah ucapan yang sering saya dengar dari ibu saya. So simple.

Kemajuan teknologi selain mengikat silaturahim juga bisa merusaknya. Ketika sebuah keluarga bepergian, seringkali mereka bersama tapi tidak bersama. Si ayah berkonsentrasi menyetir, si ibu asyik ber-facebook dengan telepon genggam dan tersenyum-senyum sendiri. Sedangkan anak-anak khusyu’ dengan game boy. Sesekali terdengar teriakan mereka ketika berhasil mengalahkan lawan di game-nya tersebut. Lantas, ada dimana mereka sekarang? Apa gunanya mereka bepergian bersama? Mungkin kita perlu “mereparasi” bahkan bila perlu “merenovasi” apa makna silaturahim yang kita anut sekarang ini.

Suatu kali, kami sepakat mengadakan arisan keluarga di sebuah restoran. Uak, om, dan tante telah duduk dengan manis di salah satu sisi meja dengan cerita mereka tentang segala kegiatan yang mereka lakukan selama sepekan terakhir. Di satu sisi meja lainnya, beberapa sepupu yang kebetulan berprofesi sebagai arsitek tampak serius membahas proyek yang tengah mereka kerjakan. Di meja lainnya, sepupu-sepupu perempuan yang sangat peduli fashion terlibat perbincangan seru tentang model busana apa yang menjadi tren saat ini dan dimana mereka bisa mendapatkannya. Sementara yang lainnya dengan khidmat membuka fitur-fitur telepon genggam mereka untuk bermain game, facebook-an atau sekedar ber-sms ria.

Untunglah, seorang om tersadar dan kemudian berteriak, “Woiii, ada orang nggak? Kalau nggak ada, mending gue pulang nih…” Barulah semua pada “siuman” dan nyambung kembali. Padahal, di setiap meja telah tersaji bercangkir-cangkir teh dan bergelas-gelas jus. So what? Apa masih perlu lagi pembuktian bahwa sebenarnya tidak cukup tiga cangkir teh untuk membuat kita ngeh silaturahim….


SECANGKIR TEH VS SECAWAN CINTA
Ini bukan cerita yang baru terjadi. Salah seorang teman mengadu bahwa dia telah difitnah oleh teman kami yang lainnya. Dia dituduh menelikung sang teman yang ternyata juga tertarik pada gadis yang sama. Kami kemudian memutuskan mengundang teman tersebut untuk ngeteh bareng guna menyelesaikan persoalan tersebut agar mereka berteman lagi. Tahu apa yang terjadi? Undangan minum teh itu justru menjadi momen di mana hubungan pertemanan keduanya hancur berantakan. Merka bahkan masih tak saling sapa, meski kini sama-sama telah menikah dan bukan dengan gadis yang mereka perebutkan dulu.

Belum lama ini, teman yang menjadi caleg menemui saya dengan wajah yang sangat tak sedap dipandang. Dalam hati saya berujar, “Orang begini kok nekat mencalonkan diri…” Tapi ternyata apa yang saya pikirkan itu juga dipikirkan oleh para konstituennya. Teman saya itu kalah telak dengan hanya mengantongi 50 suara. Itu pun sudah jelas dari sumber yang tak jauh-jauh darinya. Yakni isteri, mertua, ipar, orangtua, kakak, adik dan kerabat lainnya yang bisa saja memilihnya karena terpaksa, kasihan atau maksud terselubung lainnya. Padahal untuk ambisinya itu dia telah mengorbankan segalanya, ya uang, rumah bahkan harga dirinya.

Kalau memang tujuannya untuk kemaslahatan umat kenapa dia jadi shock berat…? Dia bahkan tak menyentuh secangkir teh yang disuguhkan isteri saya padahal dia datang bertamu di rumah kami. Dia juga teman dan memiliki tali persaudaraan dari pihak ibu saya. Jadi, setuju kan kalau saya katakan tidak cukup dengan tiga cangkir teh untuk mengikat tali silaturahim di negeri ini. It’s not enough. Karena kita masih harus membutuhkan bercawan-cawan cinta yang tulus tanpa pamrih.

Kamis, 23 Desember 2010

See....., the beach



Ingin ke pantai (lagi).

Rabu, 10 November 2010

Yang tak lagi sama

Tidak perlu berkeras meyakinkanku bahwa x akan selamanya x

Biar kulihat dan kurasakan saja sendiri




Kalau misalnya x yang kau katakan dulu menjadi y atau a atau apapun yang bukan x,

maka aku bersiap untuk tidak lagi mengandalkan ucapanmu.

Kamis, 23 September 2010

42 jam yang lalu.....

Suatu Siang Di Kota M

jalan menggelombang di bawah angin
berguguran daun-daun asam
barangkali ada yang masih akan kaukatakan padaku
sebelum kaututup kopormu

atau diamlah sementara burung-burung di atap rumah
mengibaskan terik kemarau
sekali waktu kita harus memilih kata-kata
dalam ruang hampa udara

aku pun menabikmu: selamat
dimana akhirnya kita ucapkan kalimat terbaik
sewaktu daun-daun diayunkan angin
sebelum kaututup kopormu

(Sapardi Djoko Damono)

Senin, 13 September 2010

Hati

Hati tidak perlu memilih, ia selalu tahu kemana harus berlabuh (Dee, Perahu Kertas; Kamu bukan baru saja tahu, tapi sedari dulu kamu sudah tahu, tinggalkan sesuatu yg terdapat keraguan di dalamnya)

Dan ini adalah rencana B' dan C' sebelum menuju Z, setelah kulupakan rencana B dan C : menyelesaikan semua urusan di Yogya, and then....., maen2 ke Bandung..., ^_^

Rabu, 01 September 2010

Perjuangan; Jam 15

Sms-sms yang masuk ke HP saya dari hari kemarin sampai hari ini kebanyakan mengandung unsur kata "Perjuangan"..., lebih tepatnya, intinya adalah : "Bagaimana hasil perjuangan hari ini / kmrn?".

Perjuangan yang bagi saya pribadi, dahsyat sekali. Tiga jam senilai enam juta lima ratus ribu rupiah. Dan kecemasan super mewarnai perjalanan tiga jam itu, disertai pemandangan yang relatif sama pada diri teman-teman yang sama-sama berjuang seperti saya.

Jam adalah hal yang paling sering saya lihat, bahkan sempat bernyanyi dalam hati "Tahanlaaaah wahai waktu...". Jam 15 sebentar lagiiiiiii.

& Finally......., sukseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeees!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Doa saya dan doa orang-orang yang mendoakan saya...., sekali lagi...., dikabulkan Allah, karunia sangat luar biasa.

Ibu saya berkata di telepon : Ibu membayangkan, pasti cape sekali ya?
Kujawab: Hehe, iya.

Kalau ada sms-sms yang belum saya balas, maaf, telah menjadi korban perjuangan ini, tapi tenanglah, InsyaAllah saya mengerti mana sms yang mesti segera saya balas, dan mana yang msh bisa dipending, hehe.

Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada seseorang yang karenanya perjuangan saya bisa sempurna mencapai kesuksesan, yang mengatakan kepada saya "Kalau bukan kamu, sudah kutolak". Beliau adalah anak buahnya Mas Maman, fotocopian Nirwana,lembah UGM, yang sudah menolak job2 demi saya...., sekali lagi saya tegaskan, demi saya, ckckckck....., smoga Allah membalas segala kebaikanmu mas, ^_^.

Dan untuk mahasiswa-mahasiswa S2 dan S3 yang sudah mau di "ganggu" antrian bimbingannya, demi melihat saya memohon dan memohon, hehe. Terima kasih banyak, smoga tesis-tesis dan disertasi-disertasinya lancar semua, ^_^.

My Parents dengan doa-doanya yang luar biasa....., sms ibuku sangat menyegarkan sekali: "Fotocopi mahal gpp, yg penting kecapai"....., wow....., motor hebat bagiku, u mengeluarkan pundi2 diatas searusnya demi jam 15, hehe. Makasih ibuuuuu, ^_^

Sahabat-sahabat yang menyemangati selalu......, terima kasiiiiiiiiih

The last, Indah, Nanad, Ayuk, Mba Alif, Mba Arum. Di limit waktu, aku masih bersama Indah & Nanad, yang lain gimana ya hasilnya???? Semoga hasil yang terbaik bagi mereka yang tercapai.

Minggu, 29 Agustus 2010

The Best Thing

I've got the best thing in the world, ^_^
(Mocca)

Kamis, 29 Juli 2010

Doa Bulan Juli

Saya tidak tahu doa siapa yang akan dikabulkan, maka ketika akan melewati satu fase (lagi) dalam hidup saya, alias seminar hasil penelitian tesis saya, saya menghubungi beberapa saudara, sahabat, dan teman u 'meminta' sumbangan doa.

Saya juga tidak tahu, doa siapa yang akan dikabulkan ketika saya menghadapi permasalahan yang telah menempatkan saya berada pada titik terendah manajemen emosi saya.

Hari ini saya melihat doa terbesar saya di bulan ini dikabulkan Allah, doa yang saya tahu, juga dipanjatkan oleh orang-orang terdekat saya.

Terima kasih Allah.., atas kemurahan Mu...., karunia Mu. Berkahilah mereka semua yang sudah mendoakan segala kebaikan untuk saya.

Sabtu, 26 Juni 2010

Kau

"Mengapa kau begitu hebat? Aku benci kita tak pernah bisa bicara"
(Film The Holiday)

Aku takjub mengetahui cara Allah menjaganya, dan itu alasan yang cukup bagiku berbangga untuknya.

Minggu, 06 Juni 2010

Sakitku, sakitnya siapa??

Ternyata begini ya...., penerimaan diri yang belum jua ku rasakan mampu membawaku ke dokter kemarin sore. Tragiiiiis...., bahkan u membaca dan membuka mata lebar2 saja aku tak sanggup, kepalaku seperti berputar.

Spesial thanks u Rakhma (dah nganterin ke dokter, dah nemenin tidur dan nonton james bond, hehe), Ely... (dah mbikinin aq teh dan ngambil jemuranku), Erin ...(yang ngomel2 di telepon, ha2).

Jumat, 04 Juni 2010

Hujan Bulan Juni

Aq terjebak dalam sebuah unfinished feeling, yang sebelumnya, aq pikir telah selesai. Airmata inilah bukti bahwa aq belum bisa keluar dari ruang itu. (untuk malam yg membuatku tersadar, dan membuatku enggan u terbangun esok paginya).....

Sajak ini...
Hujan Bulan Juni (Sapardi Djoko Damono)

tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga

Selasa, 01 Juni 2010

Recent Days with 10 Song

Turn on the flashlight

The world starts at midnight

Can you see it clearly?

The fear, the hope inside

Lights will guide you back home

And dawn will gives you rain

I can see it clearly

The tears that flow inside

Are you looking for a raincoat for the storm?

Do you feel so insure?

Will you hold me for one time

give me chance

To give you back the sunshine

Give you back the sunshine

Give you back the sunshine

You seems so tired

You seems so quiet

You seems so tired, weak and insecure

Leave it all

Leave it all behind

Leave it all, cause

You seem so tired

So quiet

So quiet



Saya jatuh cinta pada 10 lagu The Morning After. Yup!!!! Lirik di atas merupakan lirik lagu "Everyday Starts At Midnight". Saya memang mengetahui The Morning After sejak 2008, dg lagu "dengar dan diam"nya, diperkuat karena my best friend, Ipam, mengenal mereka (hehehe, ni gara2 aq nyari2 alamat email kamu Pam, aq baru menyadari keberadaan mereka di FB kamu,:)), tapi saya hanya sekali saja melihat mereka perform membawakan lagu2 mereka di televisi, sampai akhirnya melihat mereka masuk nominasi dalam AMI 2009. Dan saya baru menyimpan lagu-lagu The Morning After beberapa minggu ini (terlambat sekali ya....., hehe). Dan kalau saya sudah suka pada satu album, saya biasanya akan berhari2 mendengarkan 1 album, sampai diputar berkali-kali...., minggu2 ini..., ya sampai ketagihan ndengerin lagu-lagunya The Morning After, lagu2 buat nemenin baca buku (menutup malam dan menyambut pagi). ^_^

Jumat, 07 Mei 2010

Kehilangan

Hari ini saya bersafari melihat2 lagi status2 saya di FB, dan betapa kagetnya saya, status2 saya jaman dulu hilang sebagian dalam tiap sekali upload statusnya Mungkin saking panjangnya ya. Tapi kan dulu (ketika saya mengupload status2 itu)..., karakter maksimalnya mencukupi. Kalau sekarang akun FB sendiri mengurangi jumlah maksimal karakter, ga harus dong menyamaratakan karakter yg sekarang dan yang dulu. Jadinya kan kalimat2 saya di status2 terdahulu banyak yang di-cut oleh FB..., mengecewakan sekali menurut saya. Maaf ya kalau saya bicara seperti itu. Semua tulisan status saya di FB bagi saya bukan tulisan biasa..., selalu ada cerita panjang dibaliknya, dan di status2 FB itulah saya mengabadikannya. Wajar kalau saya kecewa.

Minggu, 07 Maret 2010

Penilaian

Saya tuliskan dulu sebuah cerita sebagai pengantar tulisan saya, cerita yang dikirimkan oleh seorang sahabat saya—Pipit--- jazakilah sist,:).

Alkisah ada seorang ayah dan anak sedang melewati perjalanan jauh sambil menuntun onta yang terlihat beberapa barang diletakkan di atas onta tersebut. Sampai mereka berpapasan dengan orang pertama dan berkata “Dasar bodoh kalian, onta yang kuat dan kekar itu tidak dinaiki”. Sang ayah kaget dan menyuruh anak untuk naik ke onta tersebut. Kemudian mereka berpapasan dengan orang kedua dan berkata “Emang anak tidak tau diri. Masak ayahnya dibiarkan berjalan menuntun onta yang dinaiki anaknya!”. Sang anak kaget kemudian mempersilahkan ayahnya naik onta. Kemudian mereka berpapasan dengan orang ketiga dan berkata “Wah tega ya, masak anak yang belum besar disuruh menuntun onta!”. Sang ayah kaget kemudian mengajak anaknya untuk naik onta bersama. Hingga mereka bertemu orang keempat dan berkata “Dasar manusia tidak berperikehewanan! Onta kok dinaiki dua orang dan barang, Kasihan!”. Kemudian ayah berkata “Anakku, memang ketika kita mengharap nilai dari manusia, maka akan seperti ini….tidak jelas….Semua salah. Maka biarlah Allah yang menilai kita”.


Biarlah Allah yang menilai kita, nice word.


Sebulan kemarin, saya bertemu secara tidak sengaja dengan seorang teman lama. Sebelumnya lama sekali kami tidak bertemu, perlu waktu yang lama untuk dapat mengenali dengan jelas bahwa yang ada di hadapan saya adalah teman saya (secara fisik banyak yang berubah). Berbicara-berbicara-berbicara, sampai akhirnya dia bertanya ke saya: “ Sebenarnya masuk mapro itu gampang ga si? Apa anak UGM dimudahkan? Ko si A bisa ketrima? Kayaknya kupikir dia biasa aja”. Saya tersentak…., hmmm, ni anak dah mulai melakukan penilaian ni. Kujawab, “Eits, kamu ga bisa menilai kayak gitu, banyak asesmen yang digunakan untuk bisa lolos, anak UGM juga ada yang ga lolos. Kamu ga bisa menilai orang dengan segitu gampangnya”. Teman saya mulai kelihatan salah tingkah melihat nada suara saya meninggi dan gesture saya menunjukkan ketidaksukaan atas apa yang dia katakan. Teman saya: “Maaf, maaf, ya bukan maksudku merendahkan dia…, tapi kalo kulihat misalnya dibanding seorang B gitu…, maaf lo…., maaf ya”. (Saya lihat kayaknya teman saya itu menyesal banget ngomong gitu ke saya). Kupikir, seorang B yang disebut oleh teman saya itu memang seorang yang cukup familiar krn kecerdasan dan keaktifannya di jaman S1, tapi…, kupikir juga kita ga bisa mbeda-mbedain dengan gampangnya orang-orang. Banyak orang yang tidak terlalu kelihatan menonjol ketika kuliah, tetapi sebenarnya kalau mengenal lebih dalam, ternyata anaknya cukup cerdas. Dan yang dulu adalah dulu, sekarang adalah sekarang, bukankah setiap manusia biasanya melakukan proses pembelajaran terus-menerus? Masalahnya ga semua orang bisa mengenal satu-persatu kapasitas teman-temannya sendiri. Itu yang saya sesalkan kenapa teman saya bisa secara gamblang berkata seperti itu kepada orang lain, dalam hal ini saya, yang juga bukan teman dekatnya, ko dia berani menilai seperti itu. Saya yakin dia ga begitu mengenal A. Dia bahkan tidak tahu apakah saya dekat dengan A atau tidak,:).

Setelah berpisah, saya langsung membuka file ingatan saya tentang teman saya itu. Ah ya…, beberapa tahun yang lalu, saya pernah melakukan penilaian sederhana tentang dia. Tapi penilaian itu saya simpan sendiri. Mudah bagi saya sebenarnya untuk menyampaikan penilaian saya itu kepada orang lain, sayangnya…, saya tidak mau penilaian saya itu memunculkan berbagai opini yang berakibat tidak baik dari orang-orang yang mendengarkan penilaian saya. Jadi ya, lebih baik saya simpan sendiri,:).

Yup3…., semua orang tanpa sadar akan melakukan penilaian terhadap orang yang dilihatnya. Yang terpenting, hati-hati dalam menyampaikan penilaian, jangan sampai penilaian kita berimbas pada hal-hal ga baik,:). Sukses untuk semua.

Is Ignorance Really A Bliss?

Dulu diri ini percaya bahwa ketidakpedulian adalah cara teraman melihat dunia yang gila ini. Tetapi sekarang tidak.

Ketika melihat sepasang ‘merpati’ mabuk cinta dan bercumbu di depan mata, hati ini tidak peduli, membiarkannya dan justru bersyukur setidaknya masih ada cinta di hati manusia sekarang ini. Karena dipikir-pikir lebih baik diam dan bersikap ll-gg (lu-lu, gue-gue) ketimbang mulut ini menegur dan mengatakan bahwa bercumbu lebih nikmat dilakukan di mobil pribadi daripada dilihat oleh puluhan pasang mata di pusat perbelanjaan atau di tempat rekreasi umum. Toh ujung-ujungnya, diri ini dibalas dengan pandangan mata yang tajam dari keduanya yang kemudian melontarkan nada tak senang dan sumpah-serapah. Hati ini bisa makin kesal. Apabila diri ini ikut marah, maka hal ini bisa malah jadi lelucon belaka.

Ketika sayup-sayup kata-kata penuh gunjingan terdengar oleh telinga ini, hati ini tidak peduli dan makin menjauh dari sumber keluarnya kata-kata itu. Karena diri ini percaya bahwa bila sesorang mempergunjingkan orang lain, entah itu orang penting ataupun tidak penting, nanti dosa orang yang dipergunjingkan itu justru dibebankan ke orang yang mempergunjingkannya. Itu sudah menjadi janji-Nya. Allah sangat tidak suka orang yang bergunjing. Kalau sudah begitu, lebih baik tidak peduli dan menjauh ketimbang ketambahan dosa.

Ketika melihat kecelakaan di jalan, kaki ini justru lebih cepat melangkah atau menekan gas mobil lebih kuat ketimbang harus memandangi apa dan siapa yang tertabrak, menengok seberapa parahkah lukanya, lalu menolongnya. Simply, diri ini tak ingin menambah macetnya jalanan dan jujur saja, mata ini tak kuat melihat darah bercucuran. Toh sudah banyak orang yang berkerumun di sekitar tempat kejadian. Biarkan mereka yang bertanggung jawab untuk menolong. Karena dipikir-pikir, apabila mereka berani berkerumun, itu pertanda mereka bersedia menolong dengan sukarela. Itu pertanda mereka menunjukkan kepeduliannya.

Tetapi nyatanya, kesimpulan benak ini sangat salah. Baru sadar bahwa kesimpulan itu salah sejak diri ini kehilangan tas. Diambil maling di tengah-tengah sebuah seminar yang – hati ini kira – hanya didatangi oleh kaum cendekia. Hati ini pun menangis karena separuh nyawanya ada di dalam tas itu.
Hati ini kian menangis ketika ternyata ada satu dua orang yang melihat aksi maling itu, detik demi detik. Hati ini akan berhenti menangis apabila telinga ini tidak mendengar pengakuan satu dua orang itu di depan banyak orang yang mengerumuni tubuh ini.
Puluhan pertanyaan hinggap di benak: Kok bisa tidak peduli? Bukankah yang dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di hari kemudian nanti adalah justru orang-orang yang mengetahui sesuatu? Tidakkah mereka takut ditanya oleh-Nya mengapa mereka tidak memberi tahu orang yang tidak tahu? Mengapa tidak segera melapor? Mengapa justru lapor ketika acara seminar itu telah selesai mungkin satu setengah jam setelah maling itu berhasil keluar dari gedung itu? Karena satu-dua orang itu duduk tepat di belakang kursi yang tadinya tubuh ini duduki, tempat tas itu ditinggalkan hanya dalam hitungan sepuluh detik.
Hati ini kian menangis lagi ketika pihak keamanan tidak bertindak cepat dan tegas. Bukannya dengan segera menutup pintu keluar gedung lalu mengecek siapapun yang keluar, justru sibuk mencari secarik kertas di mana tangan ini diminta untuk menulis laporan kehilangan.
Di tengah kerumunan ini hati ini mendadak muak dan perut ini terasa mual. Puluhan mata iba tertuju pada tubuh yang terduduk tak berdaya. Anehnya mereka dan satu-dua orang itu hanya bertanya, “Isi tasnya apa saja, Mbak?”
Tiba-tiba hati ini teringat kejadian ketika mata ini melihat orang bercumbu di depan umum. Seharusnya mulut ini beritahu saja bahwa banyak mata yang keberatan melihat pemandangan itu. Tiba-tiba teringat kejadian ketika orang-orang asyik bergunjing. Seharusnya mulut ini beritahu bahwa bergunjing itu tidak baik. Tiba-tiba teringat kecelakaan itu. Bisa jadi orang-orang itu hanya berkerumun dan tidak membantu apapun.

(Ditulis oleh Gita Wirasti, dalam majalah Noor, edisi Mei 2009)

Senin, 22 Februari 2010

Absen

Awal saya membuat blog matahari ini, saya berkomitmen dengan diri saya sendiri untuk memposting tulisan tiap bulannya. Tapi sejak Januari sampai sekarang, saya mengalami kesibukan luar biasa yang membuat saya jadi jarang online. Saya sudah sangat jarang sekali menulis status di Facebook, apalagi menulis blog. Makanya...., saya mau pamit, absen sebentar, menyelesaikan tugas akhir kuliah saya. Ok...., someday..., InsyaAllah saya akan menulis lagi,:). Tetap tersenyum menjalani apapun...., tebarkan segala kebaikan pada orang-orang di sekitar..., c u

Minggu, 17 Januari 2010

Me Time

“Saya” yang biasanya ada, menjadi “Aku”

Tepat 12 Januari kemarin, aku bertemu dengan seorang sahabat, yang selama ini jarang bisa kutemui. Sambil membuka merchandise, hadiah dari radio Swaragama, kami berbicara tentang hal-hal yang baru dialami beliau, berkaitan dengan progressnya… Sampai akhirnya tiba, beliau ‘menyapaku’, bertanya kabarku,:). Beliau menanyakan pertanyaan-pertanyaan simple…., tapi tidak cukup simple mungkin bagiku sampai aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya itu. Beliau berkata “Kamu boleh tidak menjawabnya, tapi kalau kamu mau berbagi, aku akan senang sekali”. Air mataku reflek mengalir…., terlalu deras alirannya sampai aku semakin tak sanggup untuk menjawab. Air mata itu benar-benar tak tahu diri, tumpah di sebuah tempat makan yang sangat ramai dengan puluhan orang. Terserah dengan siapapun yang mungkin bertanya-tanya “Ko mbaknya nangis?”, walau aku juga malu. Beliau berusaha menenangkan aku dengan menepuk-nepuk punggungku, dan mengelus tanganku…, tapi sentuhan itu membuatku semakin menangis deras.

Kukatakan pada beliau…, “Mba, bukan hanya mba yang tidak tahu progressku. Jangan dipikir cuma mba yang ga tau. Sehari-hari aku bersama Erin…, Erin juga ga tahu, aku ga pernah bercerita. Aini juga. Aku bisa berlama-lama dengannya tanpa menyentuh pembicaraan ke situ. Pipit juga. Aku menutup akses mereka untuk bertanya, sampai mereka tidak berani bertanya lagi. Aku santai include di dalam progress mereka, tanpa mereka tahu progressku. Mba sama dengan mereka, sama nggak tahunya tentang apa yang terjadi denganku”. Beliau bertanya “Kamu nyaman dengan keadaan seperti ini?”. Pertanyaan itu membuatku menangis lagi…, sambil terisak aku menjawab “Enggak”. Kali ini, beliau membiarkan tubuhku tanpa sentuhan darinya. Saat itu, aku hanya mengingat satu nama, aku ingin Erin ada disitu…, dan memelukku.

Beliau berkata…, “Pertemuan itu adalah pertanda, Allah mempertemukan kita sekarang….., InsyaAllah ada hikmahnya” (untuk yang satu ini, aku sedikit lupa kata-katanya). (Catatan, satu hari sebelum hari itu, aku juga bertemu beliau di warung makan lain, sampai surprise bisa bertemu). Kukatakan…, “Iya mba, ini latihan untukku kan, pada saatnya nanti, aku juga akan bercerita, aku malah pengin konferensi pers,:). Aku juga sudah berniat untuk menyelesaikan ini, aku sudah ‘tersadar’,:)”. “Apa yang membuatmu tersadar?”. Kukatakan hal yang membuatku tersadar bahwa aku, harus kembali. Suasana mulai tenang ketika aku berhasil melarang airmataku untuk keluar lagi. Dengan gaya khasnya, beliau bertanya hal-hal yang akhirnya dengan lancar aku jawab, dan aku sama sekali ga sadar bahwa aku telah terpancing, “menjawab” sedikit demi sedikit…., sampai akhirnya aku tersadar, dan aku nggak mau ada “pertanyaan-pertanyaan” lagi. Beliau meminta maaf, dan aku terharu dengan kata-kata beliau.. “Maaf…, aku bertanya, karena aku peduli”.

Mba Monika sayang, terima kasih ya…., memang diperlukan seorang sahabat yang mempunyai keberanian untuk “berbicara” padaku untuk membuatku semakin tersadar. Kalau untuk pengumpulan data dengan metode wawancara, mbakku yang cerdas ini memang jagonya, stimulus pertanyaannya tak menyadarkan, dan full empati,:), salut-salut.

Geng Soleha-ku, Mba Monika, Erin, Aini, pipit, maafkan aku ya….., yang "menghilang" dalam 6 bulan terakhir ini…., maafkan untuk ketidakadaanku dalam progress pencapaian prestasi kalian. Erin…..,, yang tak pernah bertanya padaku, karena kamu paling tahu….., aku tak perlu ditanya, karena aku akan bicara banyak kalau aku mau bicara. Aku sempat berpikir, kasihan kamu nduk….., aku, yang sehari-hari bersamamu, bisa “diam” dan menjalani hidup santai tanpa seperti tertekan. Kamu pernah bilang kan “Kamu berubah”….., iya Erin, kemarin, aku memang berubah, terimakasih ya untuk selalu menemani aku…., aku merasa segalanya akan menjadi lebih baik ketika kutahu kamu ada disampingku. Aini, maafkan aku untuk jarangnya aku “menyapamu”, maafkan aku….., aku berpikir bahwasanya kamu mungkin menganggapku tidak peduli padamu. Nggak honey…., aku hanya sedang ingin “sendiri”, karena aku nggak mau kamu melihat sisi lemahku. Aku cape Ai untuk selalu “baik-baik” saja di depanmu, seolah aku adalah seorang putri yang ceria, padahal aku merasa hidupku sedang tidak ‘ceria’ dan aku ga mau kamu, atau siapapun mengintervensi aku dalam rentang 6 bulan kemarin, belum saatnya menurutku…, maafkan aku ya. Terima kasih untuk selalu bisa kuajak makan sesuatu yang baru saat tak ada satupun makanan yang sudah kukenal yang mau aku makan, terima kasih untuk sms-sms “Mau kutemani?” di saat kau tahu “hariku” menjadi kelabu. Pipit….., maafkan aku juga ya….., yang mungkin ga bisa “menemani” setiap tahap progressmu kemarin. Maaf untuk tak ada cerita yang bisa kubagi saat-saat kemarin. Akhirnya, setelah kita bertemu, ternyata……, buanyak banget ya kejadian-kejadian yang sempat terlewatkan untuk kita bagi di hari kemarin,:). Terima kasih untuk cerita “time is money” mu,:). Mira…., dari yang awal kita selalu bersama dalam mengejar target, sampai akhirnya kamu sukses berjuang dan tiba-tiba aku menghilang…., maafkan aku ya…., maaf untuk melewatkan cerita hari-harimu melewati semua prosesmu, maaf untuk kemarin, yang tak ada cerita yang sanggup aku bagi padamu, terima kasih untuk supportmu yang sangat luar biasa untukku, terima kasih banyak. Anik…., aku selalu teringat kata-katamu sebelum kamu wisuda jeng…., “Seberapa besar kita bertanggungjawab pada mimpi kita”. Anik sayang….., makasih ya untuk supportnya…., untuk selalu meyakinkan aku bahwa segalanya mungkin, segalanya bisa. Moko…., terima kasih untuk pemakluman perubahanku…., maafkan untuk segala sharing yang tak pernah terbalaskan, aku merasa aku sedang “istirahat”,:). Rakhma…., maaf untuk seringnya mengusirmu saat aku sedang berada di depan komputer, maaf untuk menolakmu mengerjakan aktivitas belajar bersama, maaf untuk tidak adanya penjelasan memuaskan tentang “kenapa aku”. Terima kasih sist, untuk ceritamu tentang “orang tua”, yang mengingatkan aku akan betapa cintanya orang tuaku yang telah membesarkan aku sampai saat ini.

Adit, si ngganteng yang hobby nge-game,:), ingat nggak, suatu malam dimana kamu meninggalkan aku dengan suatu ancaman. Kamu sangat tahu bahwa aku mudah sekali untuk menangis, karena aku perasa. Tapi malam itu, aku sama sekali nggak menangis. Kenapa aku nggak menangis? Karena aku tahu, aku tidak seharusnya “diam”. Aku merasa sangat bersalah padamu. Tapi kutahu, kamu juga cukup merasa bersalah telah mengancamku, sampai keesokan harinya, kamu mengajakku bertemu. Dan untuk pertama kalinya, kamu mengirim sebuah sms yang membuatku terharu…”Seorang Adit bisa menulis sms seperti itu”,:). Lalu dalam pertemuan itu kau utarakan…, “Aku ingin menjadi bagian dari kesuksesanmu, tidak seharusnya aku bersikap tidak mau tahu…., aku harusnya tetap mendampingi kamu, aku ingat ketika kamu nggak suka aku nyebut cuk-cuk-cuk dan kamu sering melarangku tapi gagal, kamu bertanya—Apa gunanya aku Adit?--, sama seperti aku, aku pun ingin menjadi bagian dari kesuksesanmu”. Dit…, maafkan aku untuk ketertutupanku kemarin ya….., terimakasih untuk supportnya, doamu, doa yourparent…, sms-sms dan telepon darimu yang selalu meyakinkan aku bahwa kau tetap ada walau kau telah pergi.

Ya….., aku terlalu tahu bahwa kemarin….., aku sedang berada di kondisi yang terlalu sulit untuk bisa kubagi dengan siapapun….., siapapun. Maafkan aku. Tapi sekarang….., tepatnya setelah empat hari sebelum hari ulang tahunku, aku membaca disertasi milik dosen pembimbing tesisku, dikutip dari Bandura, “Setelah seseorang memiliki standar personal, maka jarak atau perbedaan antara kinerja dan standar yang dimiliki, akan mengaktifkan penilaian diri, yang kemudian mempengaruhi perilaku selanjutnya”, aku melakukan proses penilaian dan evaluasi diri. Itulah “saat” aku memutuskan bahwa aku harus kembali,:). Terima kasih untuk Bowo, orang pertama yang kuhubungi setelah proses penilaian dan evaluasi diri ini. “Ngk papa, kita harus memaafkan diri kita”, begitu katamu. Ya bro, terima kasih untuk doa-doamu, terimakasih untuk mengajariku membuat hari-hari ke depan bisa menjadi hari-hari yang indah. Akhirnya aku tahu, bahwa sampai detik ini, aku masih bisa “menemuimu” untuk bicara,:), makasih ya.

Bapak dan ibuku…., 2009 membuatku bisa semakin merasa bahwa selain sebagai orang tua, beliau berdua adalah sahabat terbaik bagiku, yang selalu ada ketika aku begitu bahagia…, maupun ketika aku menangis sedih. Terima kasih Pak, Bu…., maaf belum bisa membanggakan dan membahagiakan sepenuhnya,:).

Bu Yanti, ketua perpustakaan Psi, yang sudah menyambut “kedatanganku” lagi dan sibuk bertanya kenapa aku sekarang jadi agak gemuk (stress ya? ato bahagia? ato kenapa? Ko naiknya bisa 7 kilo?)..,:), terima kasih Bu…., terima kasih. Mas Maman, pemilik fotokopian langganannya anak-anak Psi, yang berkata “Ayo mba Ridha, fotokopinya digiatkan lagi”. Fasilitas-fasilitas umum lainnya yang terkena imbas, “kehilangan satu pelanggannya” selama bulan-bulan kemarin yang kembali lagi kudatangi, dan menyambutku dengan pertanyaan-pertanyaan : “Kemana aja?”, “Wah…, mba-nya…., lama banget ngga ke sini, saya pikir udah lulus”, “Mba pulang ya?”, “Ko sekarang jadi seperti makmur ya”, “Mba…, nggak pernah kelihatan…., mba makin gemuk ya?”…, dll…., terima kasih.

Untuk siapa saja sahabat-sahabat dekatku….., teman-temanku…., yang sudah mendoakan, dari dekat…, dari jauh…., terima kasih, mungkin kalian tidak tahu bahwa 6 bulan terakhir kemarin aku menghilang …, hehehe…., kan beberapa hal ada yang sulit untuk tersajikan dalam bentuk cerita, :). Anggap saja 6 bulan kemarin aku sedang bertamasya….., dan sekarang sudah pulang menggunakan pesawat canggih nan bisa dipercaya, pesawat itu berkata: Sudah kuantar Ridha pulang, dia berjanji untuk segera menyelesaikan tugas yang menjadi kewajibannya,:).


Minggu, 03 Januari 2010

Juice

Saya termasuk orang yang kecanduan minum juice, selanjutnya saya singkat jadi jus aja ya. Dan saya punya partner yang OK dalam berburu jus, Erin. Dari jus di dekat kampus, jus deket kos, jus yang jauh, jus di outlet2 pinggir jalan, jus di warung makan, jus di toko kelontong, sampai jus di restoran. Setelah mencoba jus di tempat baru, kami pasti akan saling berbagi akan rasa “enak/ga enak” dan “mahal/murah” yang akan menentukan “iya/tidaknya” kami ke sana lagi,:).

Dulu kami punya tempat jus langganan, masih di sekitar UGM, tapi lebih dekat ke daerah kos-kosan mahasiswanya. Alasan kenapa kami sering banget ke sana adalah karena enak, murah, penjualnya lucu, dan kita boleh beli jus mix (campuran lebih dari satu buah). Di situ juga ada fotokopian buku tentang manfaat masing-masing buah dan sayuran. Dulu, harga satu porsi jus hanya Rp. 2500, sekarang udah Rp. 3000. Kelemahan tempat itu menurut saya, tempatnya terlihat kurang bersih, dan lamaaaa (ya iyalah, antri), sampai beberapa kali saya sempet2in membeli jajan yang lewat ketika menunggu jus saya selesai dibuat. Saya bahkan sempat beberapa kali mengurungkan niat untuk membeli jus di sana ketika melihat deretan motor sudah memenuhi area depan jus, pikiran saya waktu itu “Mesti lama, lagian, ga ada tempat buat motorku”, tapi itu kalau lagi sendirian lo ya, ga sama jeng Erin,:).

Sekarang, jus di tempat itu sudah bukan langganan kami lagi. Erin sudah membeli blender untuk membuat jus sendiri, dan saya, sudah menemukan tempat langganan lain,:). Berawal dari Aa saya yang membelikan jus untuk saya dan Erin, dan ternyata…, jus itu enaaaaak banget. (Catatan: Aa saya itu dulu kekasih saya, sekarang udah jadi sahabat, tapi panggilan aa masih boleh disebut,hehe). Ternyata dia membelinya di jalan depan FT UNY. Dan saya tau banget, aa saya itu anti gula,anti es, so, jangan2 jus yang saya minum waktu itu sugar free….(belum saya konfirmasi). Kalau gitu…, wah….., super sekali rasanya. Akhirnya, saya mencoba sendirian ke tempat langganan Aa itu. Hmhmhm….., saya terkesan, tempatnya sangat bersih, pilihan buahnya buanyak, dan ada tiga kategori harga, Rp 3000, Rp. 4000, dan Rp. 5000, tergantung buahnya. Jusnya kental banget, berbeda sekali dengan jus langganan saya sebelumnya. Hampir tiap hari saya membeli jus di sini, sehari sampai dua kali, pagi dan sore. Kalau dalam sehari saya belum minum jus dari tempat itu, rasanya ada yang kurang, gelisah…(halaaah), hehe. Tapi yang saya tidak suka, antrinya itu lo (kalau lagi antri ya), tapi memang ketika saya membeli, pas antri2nya, jadi makan banyak waktu saya,:p. Dan karena beberapa hari ini saya merasa sedang tidak ingin membuang-buang waktu, maka saya hanya akan membeli jus di tempat yang tidak mesti antri, dan dilewati ketika saya mau pulang ke kos (tidak mesti berbelok arah dulu melawan arah pulang ke kos saya). Jus yang sering saya beli adalah jus mangga, jambu, dan belimbing. Dua hari awal di 2010 adalah hari tersial saya dalam berurusan dengan jus. Gimana tidak, 2 hari itu saya membeli jus di outlet jus jalan Gejayan, belum juga sampai kos, jus itu jatuh dan tumpah di jalan ketika saya sedang mengendarai vega saya. saya hanya bisa melihat jus saya tak terselamatkan. akhirnya 2 hari itu juga saya langsung menggantinya dengan membeli jus di dekat lembah UGM. Tragis, padahal, saya sudah mencoba menyetir vega selambat mungkin, jus saya tetap jatuh, hiks. Saya jadi illfeel untuk membeli jus di jalan gejayan itu.

Oya, ibu saya juga suka membuat jus. Ketika di rumah, pas saya bangun pagi, tiga gelas besar jus sudah tersedia di dalam lemari es. Tiga gelas itu untuk bapak, ibu, dan saya. Ibu mencampurkan 5 macam buah untuk dijadikan jus yaitu apel, jambu, tomat, wortel, dan bengkoang. Saya sebenarnya tidak begitu suka jus wortel, tapi, jus bikinan ibu saya itu TOP banget, rasa wortelnya ga kerasa sama sekali (diakuin juga oleh teman saya yang sempat bertamu ke rumah saya),:). Lucunya, teman saya itu hanya mau diberitahu isi jus itu setelah dia selesai minum jusnya, karena dia anti wortel. Jadi kalau wortel sudah masuk ke dalam perutnya setelah dia selesai meminum jus, semuanya aman, hehe, Nia…., nia…., someday, masih maukah kau minum jus di rumahku kalau sudah tau komposisinya seperti itu? hehe.

Saking sukanya minum jus, saya pernah berbicara dengan ibu saya, “gimana kalau saya bisnis jus di alun2 Purbalingga?”, karena saya opimis, akan sangat laku sekali, mulainya pas cuaca lagi panas-panasnya. Ibu saya malah bilang, “Di sana itu udah banyak penjual es”. Lalu saya jawab “Oh, kalau gitu bisnis es yang aneh-aneh aja, semacam es Eny dan es Murni kalau di Yogya, jadi nama esnya aneh-aneh, es jatuh cinta, es patah hati, es anti stress, hehe”. Lalu selanjutnya bagaimana? Hmhmhm…., belum tahu…..,:). Tulisan ini harus saya akhiri dulu, saya mau membeli jus,:).