Minggu, 07 Maret 2010

Penilaian

Saya tuliskan dulu sebuah cerita sebagai pengantar tulisan saya, cerita yang dikirimkan oleh seorang sahabat saya—Pipit--- jazakilah sist,:).

Alkisah ada seorang ayah dan anak sedang melewati perjalanan jauh sambil menuntun onta yang terlihat beberapa barang diletakkan di atas onta tersebut. Sampai mereka berpapasan dengan orang pertama dan berkata “Dasar bodoh kalian, onta yang kuat dan kekar itu tidak dinaiki”. Sang ayah kaget dan menyuruh anak untuk naik ke onta tersebut. Kemudian mereka berpapasan dengan orang kedua dan berkata “Emang anak tidak tau diri. Masak ayahnya dibiarkan berjalan menuntun onta yang dinaiki anaknya!”. Sang anak kaget kemudian mempersilahkan ayahnya naik onta. Kemudian mereka berpapasan dengan orang ketiga dan berkata “Wah tega ya, masak anak yang belum besar disuruh menuntun onta!”. Sang ayah kaget kemudian mengajak anaknya untuk naik onta bersama. Hingga mereka bertemu orang keempat dan berkata “Dasar manusia tidak berperikehewanan! Onta kok dinaiki dua orang dan barang, Kasihan!”. Kemudian ayah berkata “Anakku, memang ketika kita mengharap nilai dari manusia, maka akan seperti ini….tidak jelas….Semua salah. Maka biarlah Allah yang menilai kita”.


Biarlah Allah yang menilai kita, nice word.


Sebulan kemarin, saya bertemu secara tidak sengaja dengan seorang teman lama. Sebelumnya lama sekali kami tidak bertemu, perlu waktu yang lama untuk dapat mengenali dengan jelas bahwa yang ada di hadapan saya adalah teman saya (secara fisik banyak yang berubah). Berbicara-berbicara-berbicara, sampai akhirnya dia bertanya ke saya: “ Sebenarnya masuk mapro itu gampang ga si? Apa anak UGM dimudahkan? Ko si A bisa ketrima? Kayaknya kupikir dia biasa aja”. Saya tersentak…., hmmm, ni anak dah mulai melakukan penilaian ni. Kujawab, “Eits, kamu ga bisa menilai kayak gitu, banyak asesmen yang digunakan untuk bisa lolos, anak UGM juga ada yang ga lolos. Kamu ga bisa menilai orang dengan segitu gampangnya”. Teman saya mulai kelihatan salah tingkah melihat nada suara saya meninggi dan gesture saya menunjukkan ketidaksukaan atas apa yang dia katakan. Teman saya: “Maaf, maaf, ya bukan maksudku merendahkan dia…, tapi kalo kulihat misalnya dibanding seorang B gitu…, maaf lo…., maaf ya”. (Saya lihat kayaknya teman saya itu menyesal banget ngomong gitu ke saya). Kupikir, seorang B yang disebut oleh teman saya itu memang seorang yang cukup familiar krn kecerdasan dan keaktifannya di jaman S1, tapi…, kupikir juga kita ga bisa mbeda-mbedain dengan gampangnya orang-orang. Banyak orang yang tidak terlalu kelihatan menonjol ketika kuliah, tetapi sebenarnya kalau mengenal lebih dalam, ternyata anaknya cukup cerdas. Dan yang dulu adalah dulu, sekarang adalah sekarang, bukankah setiap manusia biasanya melakukan proses pembelajaran terus-menerus? Masalahnya ga semua orang bisa mengenal satu-persatu kapasitas teman-temannya sendiri. Itu yang saya sesalkan kenapa teman saya bisa secara gamblang berkata seperti itu kepada orang lain, dalam hal ini saya, yang juga bukan teman dekatnya, ko dia berani menilai seperti itu. Saya yakin dia ga begitu mengenal A. Dia bahkan tidak tahu apakah saya dekat dengan A atau tidak,:).

Setelah berpisah, saya langsung membuka file ingatan saya tentang teman saya itu. Ah ya…, beberapa tahun yang lalu, saya pernah melakukan penilaian sederhana tentang dia. Tapi penilaian itu saya simpan sendiri. Mudah bagi saya sebenarnya untuk menyampaikan penilaian saya itu kepada orang lain, sayangnya…, saya tidak mau penilaian saya itu memunculkan berbagai opini yang berakibat tidak baik dari orang-orang yang mendengarkan penilaian saya. Jadi ya, lebih baik saya simpan sendiri,:).

Yup3…., semua orang tanpa sadar akan melakukan penilaian terhadap orang yang dilihatnya. Yang terpenting, hati-hati dalam menyampaikan penilaian, jangan sampai penilaian kita berimbas pada hal-hal ga baik,:). Sukses untuk semua.

Is Ignorance Really A Bliss?

Dulu diri ini percaya bahwa ketidakpedulian adalah cara teraman melihat dunia yang gila ini. Tetapi sekarang tidak.

Ketika melihat sepasang ‘merpati’ mabuk cinta dan bercumbu di depan mata, hati ini tidak peduli, membiarkannya dan justru bersyukur setidaknya masih ada cinta di hati manusia sekarang ini. Karena dipikir-pikir lebih baik diam dan bersikap ll-gg (lu-lu, gue-gue) ketimbang mulut ini menegur dan mengatakan bahwa bercumbu lebih nikmat dilakukan di mobil pribadi daripada dilihat oleh puluhan pasang mata di pusat perbelanjaan atau di tempat rekreasi umum. Toh ujung-ujungnya, diri ini dibalas dengan pandangan mata yang tajam dari keduanya yang kemudian melontarkan nada tak senang dan sumpah-serapah. Hati ini bisa makin kesal. Apabila diri ini ikut marah, maka hal ini bisa malah jadi lelucon belaka.

Ketika sayup-sayup kata-kata penuh gunjingan terdengar oleh telinga ini, hati ini tidak peduli dan makin menjauh dari sumber keluarnya kata-kata itu. Karena diri ini percaya bahwa bila sesorang mempergunjingkan orang lain, entah itu orang penting ataupun tidak penting, nanti dosa orang yang dipergunjingkan itu justru dibebankan ke orang yang mempergunjingkannya. Itu sudah menjadi janji-Nya. Allah sangat tidak suka orang yang bergunjing. Kalau sudah begitu, lebih baik tidak peduli dan menjauh ketimbang ketambahan dosa.

Ketika melihat kecelakaan di jalan, kaki ini justru lebih cepat melangkah atau menekan gas mobil lebih kuat ketimbang harus memandangi apa dan siapa yang tertabrak, menengok seberapa parahkah lukanya, lalu menolongnya. Simply, diri ini tak ingin menambah macetnya jalanan dan jujur saja, mata ini tak kuat melihat darah bercucuran. Toh sudah banyak orang yang berkerumun di sekitar tempat kejadian. Biarkan mereka yang bertanggung jawab untuk menolong. Karena dipikir-pikir, apabila mereka berani berkerumun, itu pertanda mereka bersedia menolong dengan sukarela. Itu pertanda mereka menunjukkan kepeduliannya.

Tetapi nyatanya, kesimpulan benak ini sangat salah. Baru sadar bahwa kesimpulan itu salah sejak diri ini kehilangan tas. Diambil maling di tengah-tengah sebuah seminar yang – hati ini kira – hanya didatangi oleh kaum cendekia. Hati ini pun menangis karena separuh nyawanya ada di dalam tas itu.
Hati ini kian menangis ketika ternyata ada satu dua orang yang melihat aksi maling itu, detik demi detik. Hati ini akan berhenti menangis apabila telinga ini tidak mendengar pengakuan satu dua orang itu di depan banyak orang yang mengerumuni tubuh ini.
Puluhan pertanyaan hinggap di benak: Kok bisa tidak peduli? Bukankah yang dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di hari kemudian nanti adalah justru orang-orang yang mengetahui sesuatu? Tidakkah mereka takut ditanya oleh-Nya mengapa mereka tidak memberi tahu orang yang tidak tahu? Mengapa tidak segera melapor? Mengapa justru lapor ketika acara seminar itu telah selesai mungkin satu setengah jam setelah maling itu berhasil keluar dari gedung itu? Karena satu-dua orang itu duduk tepat di belakang kursi yang tadinya tubuh ini duduki, tempat tas itu ditinggalkan hanya dalam hitungan sepuluh detik.
Hati ini kian menangis lagi ketika pihak keamanan tidak bertindak cepat dan tegas. Bukannya dengan segera menutup pintu keluar gedung lalu mengecek siapapun yang keluar, justru sibuk mencari secarik kertas di mana tangan ini diminta untuk menulis laporan kehilangan.
Di tengah kerumunan ini hati ini mendadak muak dan perut ini terasa mual. Puluhan mata iba tertuju pada tubuh yang terduduk tak berdaya. Anehnya mereka dan satu-dua orang itu hanya bertanya, “Isi tasnya apa saja, Mbak?”
Tiba-tiba hati ini teringat kejadian ketika mata ini melihat orang bercumbu di depan umum. Seharusnya mulut ini beritahu saja bahwa banyak mata yang keberatan melihat pemandangan itu. Tiba-tiba teringat kejadian ketika orang-orang asyik bergunjing. Seharusnya mulut ini beritahu bahwa bergunjing itu tidak baik. Tiba-tiba teringat kecelakaan itu. Bisa jadi orang-orang itu hanya berkerumun dan tidak membantu apapun.

(Ditulis oleh Gita Wirasti, dalam majalah Noor, edisi Mei 2009)