Minggu, 07 Maret 2010

Is Ignorance Really A Bliss?

Dulu diri ini percaya bahwa ketidakpedulian adalah cara teraman melihat dunia yang gila ini. Tetapi sekarang tidak.

Ketika melihat sepasang ‘merpati’ mabuk cinta dan bercumbu di depan mata, hati ini tidak peduli, membiarkannya dan justru bersyukur setidaknya masih ada cinta di hati manusia sekarang ini. Karena dipikir-pikir lebih baik diam dan bersikap ll-gg (lu-lu, gue-gue) ketimbang mulut ini menegur dan mengatakan bahwa bercumbu lebih nikmat dilakukan di mobil pribadi daripada dilihat oleh puluhan pasang mata di pusat perbelanjaan atau di tempat rekreasi umum. Toh ujung-ujungnya, diri ini dibalas dengan pandangan mata yang tajam dari keduanya yang kemudian melontarkan nada tak senang dan sumpah-serapah. Hati ini bisa makin kesal. Apabila diri ini ikut marah, maka hal ini bisa malah jadi lelucon belaka.

Ketika sayup-sayup kata-kata penuh gunjingan terdengar oleh telinga ini, hati ini tidak peduli dan makin menjauh dari sumber keluarnya kata-kata itu. Karena diri ini percaya bahwa bila sesorang mempergunjingkan orang lain, entah itu orang penting ataupun tidak penting, nanti dosa orang yang dipergunjingkan itu justru dibebankan ke orang yang mempergunjingkannya. Itu sudah menjadi janji-Nya. Allah sangat tidak suka orang yang bergunjing. Kalau sudah begitu, lebih baik tidak peduli dan menjauh ketimbang ketambahan dosa.

Ketika melihat kecelakaan di jalan, kaki ini justru lebih cepat melangkah atau menekan gas mobil lebih kuat ketimbang harus memandangi apa dan siapa yang tertabrak, menengok seberapa parahkah lukanya, lalu menolongnya. Simply, diri ini tak ingin menambah macetnya jalanan dan jujur saja, mata ini tak kuat melihat darah bercucuran. Toh sudah banyak orang yang berkerumun di sekitar tempat kejadian. Biarkan mereka yang bertanggung jawab untuk menolong. Karena dipikir-pikir, apabila mereka berani berkerumun, itu pertanda mereka bersedia menolong dengan sukarela. Itu pertanda mereka menunjukkan kepeduliannya.

Tetapi nyatanya, kesimpulan benak ini sangat salah. Baru sadar bahwa kesimpulan itu salah sejak diri ini kehilangan tas. Diambil maling di tengah-tengah sebuah seminar yang – hati ini kira – hanya didatangi oleh kaum cendekia. Hati ini pun menangis karena separuh nyawanya ada di dalam tas itu.
Hati ini kian menangis ketika ternyata ada satu dua orang yang melihat aksi maling itu, detik demi detik. Hati ini akan berhenti menangis apabila telinga ini tidak mendengar pengakuan satu dua orang itu di depan banyak orang yang mengerumuni tubuh ini.
Puluhan pertanyaan hinggap di benak: Kok bisa tidak peduli? Bukankah yang dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di hari kemudian nanti adalah justru orang-orang yang mengetahui sesuatu? Tidakkah mereka takut ditanya oleh-Nya mengapa mereka tidak memberi tahu orang yang tidak tahu? Mengapa tidak segera melapor? Mengapa justru lapor ketika acara seminar itu telah selesai mungkin satu setengah jam setelah maling itu berhasil keluar dari gedung itu? Karena satu-dua orang itu duduk tepat di belakang kursi yang tadinya tubuh ini duduki, tempat tas itu ditinggalkan hanya dalam hitungan sepuluh detik.
Hati ini kian menangis lagi ketika pihak keamanan tidak bertindak cepat dan tegas. Bukannya dengan segera menutup pintu keluar gedung lalu mengecek siapapun yang keluar, justru sibuk mencari secarik kertas di mana tangan ini diminta untuk menulis laporan kehilangan.
Di tengah kerumunan ini hati ini mendadak muak dan perut ini terasa mual. Puluhan mata iba tertuju pada tubuh yang terduduk tak berdaya. Anehnya mereka dan satu-dua orang itu hanya bertanya, “Isi tasnya apa saja, Mbak?”
Tiba-tiba hati ini teringat kejadian ketika mata ini melihat orang bercumbu di depan umum. Seharusnya mulut ini beritahu saja bahwa banyak mata yang keberatan melihat pemandangan itu. Tiba-tiba teringat kejadian ketika orang-orang asyik bergunjing. Seharusnya mulut ini beritahu bahwa bergunjing itu tidak baik. Tiba-tiba teringat kecelakaan itu. Bisa jadi orang-orang itu hanya berkerumun dan tidak membantu apapun.

(Ditulis oleh Gita Wirasti, dalam majalah Noor, edisi Mei 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar