Selasa, 28 Desember 2010

Three Cups of Tea

(Penulis: Haris Nasution, yang diterbitkan di majalah Noor edisi Mei 2009)


Greg Martenson, seorang warga Negara Amerika yang pernah menetap di Pakistan menulis dalam bukunya berjudul Three Cups of Tea, bahwa jika sekali Anda telah diundang minum teh oleh seseorang, maka orang itu telah menghormati Anda sebagai tamu. Jika Anda diundang untuk kali kedua, maka status Anda telah meningkat menjadi teman. Dan pada ketiga kalinya, Anda sudah menjadi bagian dari keluarga mereka. Sungguh sangat mengesankan. Buku itu sendiri mencetak best seller dan memberi inspirasi kepada jutaan pembacanya di seluruh dunia. Bagaimana dengan kita di negeri ini?

Tak ada sedikitpun kesan istimewa dari sebuah undangan minum teh di rumah sesorang. Selalu saja menyelipkan suatu praduga tersendiri, yang kebanyakan praduga itu adalah negatif. “Ada keperluan apa dia mengundang saya datang ke rumahnya?” “Mau pinjam uang atau minta tolong dicarikan pekerjaankah?” Dan kalau yang diundang merasa tak memiliki kepentingan apapun dengan si pengundang, tentu saja dia akan mengabaikan undangan tersebut. Apalagi di tengah suasana yang sibuk…buk… yang apa-apa selalu membutuhkan perhitungan sendiri. Apa untung dan ruginya?

Sudah semakin jarang orang bersilaturahim dengan saling berkunjung. Lebih praktis janjian untuk bertemu di cafĂ© ataupun di pusat perbelanjaan. Rumah bukan lagi menjadi tempat untuk menjalin ikatan silaturahim. Ketika ada seorang sahabat yang sudah lama tak bertemu datang ke kota tempat kita tinggal, hal yang pertama kali terucap, “Ketemuan yuk…, tapi enaknya dimana ya…?” Jarang terdengar ajakan, “Ke rumahku yuk… Kita ngopi atau ngeteh bersama. sekalian kukenalkan dengan keluargaku.”

Privasi! Selalu itu yang menjadi apology. “Jangan di rumah deh, nanti kita nggak leluasa ngobrolnya.” atau “Wah, rumahku berantakan nih. Ketemuan di luar aja deh sekalian makan siang bareng…” Atau ajakan lain yang familiar, “Ketemuan di mal anu aja yuk. Lagi ada sale lo…”

Saya masih ingat bagaimana seringnya orang tua saya mengundang teman-temannya untuk makan siang di rumah. Kami, anak-anaknyalah yang paling senang, karena tentu makan siang pada hari itu akan lebih istimewa. Tapi ketika ayah mendapat masalah di tempatnya bekerja, tak satupun dari teman-teman yang sering diundangnya itu datang bersimpati. Padahal, sudah bercangkir-cangkir teh mereka minum di rumah kami. Begitupun, acara makan siang bersama dengan teman-temannya, tetap tak berhenti! Bagi ayah, menjamu tamu merupakan salah satu kebiasaan Rasulullah yang patut diteladani.

Kalau rumah kita sering dikunjungi orang, tentu kita tak akan memberi kesempatan rumah kita kotor dan berantakan. Kita akan bersemangat untuk membersihkan rumah dan aura rumah pun menjadi baik. Itu adalah ucapan yang sering saya dengar dari ibu saya. So simple.

Kemajuan teknologi selain mengikat silaturahim juga bisa merusaknya. Ketika sebuah keluarga bepergian, seringkali mereka bersama tapi tidak bersama. Si ayah berkonsentrasi menyetir, si ibu asyik ber-facebook dengan telepon genggam dan tersenyum-senyum sendiri. Sedangkan anak-anak khusyu’ dengan game boy. Sesekali terdengar teriakan mereka ketika berhasil mengalahkan lawan di game-nya tersebut. Lantas, ada dimana mereka sekarang? Apa gunanya mereka bepergian bersama? Mungkin kita perlu “mereparasi” bahkan bila perlu “merenovasi” apa makna silaturahim yang kita anut sekarang ini.

Suatu kali, kami sepakat mengadakan arisan keluarga di sebuah restoran. Uak, om, dan tante telah duduk dengan manis di salah satu sisi meja dengan cerita mereka tentang segala kegiatan yang mereka lakukan selama sepekan terakhir. Di satu sisi meja lainnya, beberapa sepupu yang kebetulan berprofesi sebagai arsitek tampak serius membahas proyek yang tengah mereka kerjakan. Di meja lainnya, sepupu-sepupu perempuan yang sangat peduli fashion terlibat perbincangan seru tentang model busana apa yang menjadi tren saat ini dan dimana mereka bisa mendapatkannya. Sementara yang lainnya dengan khidmat membuka fitur-fitur telepon genggam mereka untuk bermain game, facebook-an atau sekedar ber-sms ria.

Untunglah, seorang om tersadar dan kemudian berteriak, “Woiii, ada orang nggak? Kalau nggak ada, mending gue pulang nih…” Barulah semua pada “siuman” dan nyambung kembali. Padahal, di setiap meja telah tersaji bercangkir-cangkir teh dan bergelas-gelas jus. So what? Apa masih perlu lagi pembuktian bahwa sebenarnya tidak cukup tiga cangkir teh untuk membuat kita ngeh silaturahim….


SECANGKIR TEH VS SECAWAN CINTA
Ini bukan cerita yang baru terjadi. Salah seorang teman mengadu bahwa dia telah difitnah oleh teman kami yang lainnya. Dia dituduh menelikung sang teman yang ternyata juga tertarik pada gadis yang sama. Kami kemudian memutuskan mengundang teman tersebut untuk ngeteh bareng guna menyelesaikan persoalan tersebut agar mereka berteman lagi. Tahu apa yang terjadi? Undangan minum teh itu justru menjadi momen di mana hubungan pertemanan keduanya hancur berantakan. Merka bahkan masih tak saling sapa, meski kini sama-sama telah menikah dan bukan dengan gadis yang mereka perebutkan dulu.

Belum lama ini, teman yang menjadi caleg menemui saya dengan wajah yang sangat tak sedap dipandang. Dalam hati saya berujar, “Orang begini kok nekat mencalonkan diri…” Tapi ternyata apa yang saya pikirkan itu juga dipikirkan oleh para konstituennya. Teman saya itu kalah telak dengan hanya mengantongi 50 suara. Itu pun sudah jelas dari sumber yang tak jauh-jauh darinya. Yakni isteri, mertua, ipar, orangtua, kakak, adik dan kerabat lainnya yang bisa saja memilihnya karena terpaksa, kasihan atau maksud terselubung lainnya. Padahal untuk ambisinya itu dia telah mengorbankan segalanya, ya uang, rumah bahkan harga dirinya.

Kalau memang tujuannya untuk kemaslahatan umat kenapa dia jadi shock berat…? Dia bahkan tak menyentuh secangkir teh yang disuguhkan isteri saya padahal dia datang bertamu di rumah kami. Dia juga teman dan memiliki tali persaudaraan dari pihak ibu saya. Jadi, setuju kan kalau saya katakan tidak cukup dengan tiga cangkir teh untuk mengikat tali silaturahim di negeri ini. It’s not enough. Karena kita masih harus membutuhkan bercawan-cawan cinta yang tulus tanpa pamrih.

Kamis, 23 Desember 2010

See....., the beach



Ingin ke pantai (lagi).