Selasa, 15 Desember 2009

Kujanjikan Aku Ada

“Xxx, jangan tinggalin aq ya”, begitu sms malam2 yang saya kirimkan untuk seorang sahabat nun jauh dari tempat saya berada. Sms balesannya: “Gedubrak..sms apa ini? ono opo tho? koq melankolis gini,:), lonely ni?”. Saya sudah menduga bahwa sahabat saya akan sekaget itu membaca sms saya. Sederhana saja, terbiasa hahahihi dalam bahasa sms memungkinkan kekagetan dalam bahasa sms yang sangat jauh berbeda dari biasanya.

Saya katakan padanya bahwa saya merasa ditinggalkan oleh orang-orang yang biasanya selalu ‘ada’ dalam setiap nafas hidup saya. Lalu saya katakan bahwa ‘kenapa aq jadi pamrih gini’, dengan membahas 24 jam saya selalu siap untuk ‘ada’ bagi mereka, tapi sekarang, ketika saya membutuhkan mereka, ‘ada’ kah mereka untuk saya? Di mana mereka? Jahatnya saya, sampai saya berpikir, entah pagi dini hari, entah malam2 sekali, entah ketika hanya sedikit ruang yang saya miliki untuk ‘melayani’, akan saya usahakan untuk ‘ada’, saat itu juga, minimal dengan membalas sms atau menerima panggilan telepon. Kenapa saat itu juga? Karena saya memposisikan diri saya pada posisi mereka, yang sedang “sangat membutuhkan”. Bagi saya, tidak ‘saat itu juga’, terlambat sudah…

Beberapa hal yang masih sangat jelas terekam dalam ingatan saya ketika saya ‘terlambat ada’, diantaranya adalah:

*** Seorang teman yang meminta bertemu saya tepat di hari setelah ujian tesisnya selesai dilaksanakan. Dengan bahasa yang cukup diplomatis menghibur, saya pastikan bahwa ‘semuanya baik2 aja kan’, Karena jawabannya bernuansa ‘baik’, maka saya tidak menyanggupi ketemuan itu. Hampir satu minggu teman saya itu terus mendesak saya untuk bertemu, tapi saya selalu menolak. Saya punya alasan khusus yang tentu saja tidak saya katakan padanya kenapa saya menolak bertemu dengannya, yang jelas, itu saya lakukan untuk kebaikan saya,:). Lagipula, mengingat sosoknya yang humoris, sangat suka bercanda, saya merasa mendapat jaminan bahwa, ‘dia akan baik-baik saja’ menerima penolakan saya,:). Tapi tepat 6 hari setelah itu, saya memutuskan untuk menerima ajakan ketemuan, dalam sebuah acara dinner, merayakan kelulusannya. Full senyum, full ketawa, itu yang membuat suasana selalu lebih hidup ketika berbicara dengannya, selain satu hal, saya tertegun mendengar jawaban dia ketika saya meminta maaf karena selalu menolak ketemuan. Jawabannya simple, kurang lebih seperti ini “Gapapa Ridha…, hanya saja, aq merasa aku sedang ingin berbicara dengan seseorang setelah aku melewati suatu proses di hari itu”. Sontak saya merasa sangat sangat bersalah sekali. Saya membayangkan, seandainya saya berada di posisinya, saya pasti akan sangat kecewa ketika saya membutuhkan teman bicara, orang yang saya minta sebagai teman bicara saya menolak untuk menemani saya berbicara dengan alasan yang sangat ga jelas. Berkali-kali saya meminta maaf sampai akhirnya ia memegang tangan saya dan menatap mata saya dengan sangat serius untuk meyakinkan saya dengan mengatakan “Nggak papa Ridha, nggak papa”. kemudian saya mengatakan padanya “Aq janji, aq nggak akan melakukan hal itu lagi, kalau waktu bisa diulang, aku akan ada menemani kamu”.

*** Sahabat saya menelepon saya, bertanya: “Kamu ngapain hari ini? Ada di kos ga? Aku ke kosmu ya….”. Aku tahu, sahabat saya ini pasti ingin ‘bercerita’, tapi mengingat agenda-agenda saya yang sepertinya ‘akan sedikit berantakan’ kalau dia ke kos saya, saya menolak untuk bertemu hari itu juga. saya janjikan “Hari xxx aja ya, biar aku yang ke kosmu”. Menurut saya, kalau saya “sebagai tamu” di kos orang, saya bisa mengatur akan berapa lama saya bertamu, tapi kalau saya yang kedapetan tamu, akan sangat ga enak mengusirnya kalau agenda lain sudah menunggu, hehe. Ok, beberapa hari setelahnya, saat bertemu, benar saja dia bercerita tentang hal2 yang cukup serius yang sedang ia alami dalam hidupnya, sampai ada pelukan menenangkan karena ada air mata,:). Menunggu berhari-hari baginya untuk akhirnya bisa menumpahkan ceritanya ke saya merupakan suatu hal yang saya duga “sangat tidak enak”. harusnya, air mata itu sudah keluar hari-hari kemarin, harusnya, sejak hari kemarin dia merasa baikan karena sudah mendengar satu dua kalimat dari saya yang membuatnya terinspirasi untuk melakukan sesuatu.

Akhirnya saya introspeksi, apa yang salah ya dari keadaan ini? Kenapa saya merasa ditinggalkan? Lalu saya tahu jawabannya. Saya merupakan tipe orang yang sangat tidak ingin merepotkan orang lain. Saya tidak akan berani “menelepon” seseorang di malam-malam yang larut atau dini hari ketika kebanyakan orang masih tidur, tanpa konfirmasi sebelumnya bahwa saya mau menelepon. Saya tidak berani, saya merasa tidak enak, takut mengganggu. walaupun untuk sahabat2 dekat, saya memberikan toleransi tak berbatas untuk 24 jam menghubungi saya. Lalu sekarang, kalau saya tidak berani untuk “meminta”, untuk “datang” ke mereka, bagaimana mereka tahu bahwa saya sedang membutuhkan mereka? Mengandalkan kekuatan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan pesan? Wah, kalau untuk yang satu ini, sudah lumayan lama saya tidak mengasah kepekaan saya,:). Akhirnya saya mengubah telepon menjadi sms, karena saya pikir mereka yang sedang tidur pun bisa tidak terganggu karena mungkin tidak mendengar bunyi sms datang, dan saya berharap sms akan segera dibalas secepatnya setelah dibaca. Tapi saya memang tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan orang lain, seperti meminta orang lain untuk segera membalas sms saya misalnya,:). Sama seperti ketika saya menelepon orang, saya tidak bisa mengendalikan orang itu untuk sepenuh hati mendengarkan cerita saya, walau selama ini saya merasa sudah cukup mendengarkan dengan sepenuh hati cerita orang-orang yang berbagi pada saya,:). Saya sama sekali tidak dapat menuntut orang lain melakukan hal seperti yang saya lakukan. Karena tidak mau ‘kecewa’ karena merasa tidak didengarkan sepenuh hati’, saya memilih untuk mulai tidak berbagi dengan siapapun, termasuk orang-orang terdekat layaknya kekasih sekalipun. Ah ya…, pengalaman buruk membuat saya tidak mau menyentuh ranah yang bisa membuat saya kecewa (lagi),:).

Tapi bagaimanapun juga, saya tetap ingin mengucapkan terima kasih untuk siapa saja yang sudah pernah menemani saya ‘bicara’ hingga saat ini, maafkan segala hal tidak mengenakkan yang datangnya dari saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar